TRADISI
MANTEN KUCING
MAKALAH
UNTUK
MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah
Kebudayaan
Yang
di bina oleh bapak Sokhibul Ansor, S. Sos. M.Hum
Oleh
Henny
Surya Akbar Purna Putra
110213314008
UNIVERSITAS NERGERI MALANG
FAKULTAS SASTRA
JURUSAN SASTRA INDONESIA
PRODI PERPUSTAKAAN
November 2012
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat
rahmatnya Penulis yang telah bisa menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul”
TRADISI MANTEN KUCING” yang merupakan tugas struktur sejarah kebudayaan pada
semester tiga.
Dalam karya ilmiah ini penulis memaparkan tentang tradisi Manten Kucing
asli dari kota Tulungagung yang di sakralkan oleh masyarakat sekitar.
Dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, Penulis telah dapat bantuan dan
masukkan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada :
1.
Bapak Sokhibul
Ansor selaku dosen mata kuliah sejarah kebudayaan yang telah memberikan tugas
tentang karya ilmiah kebudayaan yang berada di Indonesia sehingga menambah
pengetahuan penulis tentang kebudayaan di Indonesia khususnya kebudayaan Manten
Kucing.
2.
Pihak-pihak
yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah turut membantu
sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik dan dalam waktu yang
tepat.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini
masih jauh dari kesempurnaan, namun demikian telah memberikan manfaat bagi
penulis. Akhir kata penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis terima dengan
senang hati.
Malang,
Desember 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
COVER ........................................................................................................... 1
KATA
PENGANTAR .................................................................................... 2
DAFTAR
ISI .................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
................................................................ 4
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 6
1.3 Tujuan ........................................................................................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Selayang Pandang
Manten Kucing ................................................ 8
2.2
Meminta Datangnya Hujan ............................................................ 10
2.3 Festifal Manten Kucing ............................................................... 10
2.4 Acara Berlansungnya
Manten Kucing ........................................... 12
2.5
Keunikan
dari acara Manten Kucing ............................................. 13
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................... 15
3.2 Daftar Pustaka ............................................................................... 17
3.3 Lampiran ........................................................................................ 18
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Khasanah budaya daerah merupakan
cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu merupakan landasan utama untuk
menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam tradisi budaya yang
dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari budaya tradisi
Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, upacara Kasada di Bromo, dan budaya
Manten Kucing di Tulungagung.
Prof. S. Budhisantoso mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat
berkata dengan bangganya, bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini
sangat kaya dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu
dianggap sebagai modal utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk
meningkatkan penghasilan devisa. Namun demikian tidaklah banyak orang yang
mampu menjelaskan dengan baik di mana ke-bhineka-an (keragaman) serta
ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia yang tersebar di Nusantara,
dari Sabang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix).
Tradisi budaya lokal, potensinya sangat bagus apabila dikembangkan
dengan serius. Sehingga dengan budaya lokal-lah kita mampu mewujudkan budaya
tingkat Nasional. Realitanya, banyak generasi muda di daerah tidak
memperdulikan bahkan mereka tidak mengetahui tradisi budaya yang ada
didaerahnya. Hal itu membuat keprihatinan tersendiri, sebab trend mode
globalisasi lambat laun memusnahkan pola pikir anak terhadap tradisi budaya
yang ada. Generasi muda lebih suka play station, game online dari pada melihat
festival manten kucing.
Masyarakat yang dibantu oleh pemerintah, harus mampu menggali (Ndudhuk)
potensi asset budaya daerah. Selain sebagai pendapatan daerah, tentunya budaya
daerah tersebut dapat dijadikan sebagai simbol kedaerahan, atau ciri khas
daerah. Ketika sudah menemukan (Ndudhah) tradisi yang ada maka untuk
disegerakan pengembangan dan memberdayakannya (Nggugah).
Kita tidak harus mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab kalau
kita berpikir secara aktif, dengan adanya perkembangan zaman tersebut kita
mampu memanfaatkannya untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti
halnya mempublikasikan melalui internet, media elektronik, dan facebook.
Sehingga belum tentu perkembangan zaman ini akan memusnahkan keberadaan budaya
tradisi daerah, melainkan kita harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman ini
untuk menumbuhkembangkan budaya tradisi kedaerahan.
Demikian pula seperti membangkitkan gairah pengembangan dan pemberdayaan
tradisi lokal yang identik sebagai simbolisasi dalam memperkuat budaya Nasional.
Manten Kucing, adalah tradisi budaya yang berada di Desa Pelem, Kecamatan
Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Tradisi budaya Manten Kucing ini merupakan
tradisi masyarakat untuk meminta diturunkannya hujan, ketika musim kemarau
panjang. Sehingga simbolisasi Manten Kucing ini ialah ritual untuk meminta
hujan.
Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya bisa dijadikan
sebagai media pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya memiliki unsur
nilai-nilai tinggi, dan juga penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud
dalam bentuk upacara tradisi, seperti halnya; Manten Kucing, tradisi budaya
yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung ini
dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh masyarakat sekitar, dan juga pemerintah
peran serta didalam pelaksanaannya.
Selain dijadikan media pembelajaran, tentunya upacara tradisi budaya
yang ada di daerah-daerah dapat dijadikan sebagai fokus objek wisata lokal.
Menggali (Ndudhuk) potensi upacara tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau
perlu kita mempelajari nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang
diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta (2004:176), untuk membangun ketahanan
budaya, kita harus menggali dan kemudian memilah-milah produk-produk budaya
yang kita warisi dari para leluhur kita. Tidak semua produk budaya yang kita
miliki konstruktif dan produktif. Ada beberapa produk budaya yang harus kita
tinggalkan, karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak lagi
mampu menjawab kebutuhan zaman.
Semakin majunya teknologi komunikasi di zaman sekarang, penulis merasa
takut apabila warisan budaya tradisi leluhur hanya tersimpan dalam bentuk
audio-vidio. Sedangkan wujud budaya aslinya sudah musnah ditelan perkembangan
zaman. Sehingga melihat kondisi semacam itu, generasi muda juga harus menjadi
objek didalam pembelajaran tradisi budaya. Pengembangan dan pemberdayaan
tradisi budaya yang ada di daerah selayaknya mulai dini dikenalkan kepada
generasi muda (pelajar), salah satunya dengan memuat kurikulum muatan lokal, sanggar
budaya, café budaya dan festival budaya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Awal terjadinya tradisi Manten Kucing?
2. Untuk apa tradisi Manten Kucing ini digelar?
3. Manten Kucing di festivalkan?
4. Dan bagaimana acara tersebut berlansung?
5. Keunikan apa dari tradisi Manten Kucing ini?
1.3 Tujuan
1.
Mendiskripsikan
sejarah tentang tradisi Manten Kucing
2.
Mengetahui
untuk apa tradisi Manten Kucing ini digelar
3.
Mengetahui
sebab Manten Kucing ini di festivalkan
4.
Mengetahui
acara Manten Kucing tersebut berlansung
5.
Mengetahui
Keunikan-keunikan dari tradisi Manten Kucing
II. PEMBAHASAN
2.1 Selayang Pandang Manten Kucing
Mengenai sejarah keberadaan Manten Kucing, penulis merangkainya dari
beberapa sumber yang penulis anggap masih berkompeten. Tradisi budaya Manten
Kucing ini berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung.
Menurut warga sekitar Desa Pelem, bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini
selalu diselenggarakan setiap tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya didalam upacara tradisi Manten Kucing ini adalah sepasang kucing
jantan dan betina. Awalnya daerah Desa Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda
kemarau panjang, hingga warga kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah
adalah tokoh yang membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di
sebuah telaga, yaitu Telaga Coban.
Ketika Eyang Sangkrah mandi di Telaga Coban, Beliau membawa serta
se-ekor kucing di telaga tersebut. Kucing Condro Mowo, sebutan kucing yang
dibawa oleh Eyang Sangkrah, setelah di Telaga Coban kucing tersebut dimandikan.
Anehnya, sepulang dari mandi di Telaga Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan
deras. Warga yang lama menunggu turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan
perasaan syukur dan bahagia. Saat itulah, warga menyakini turunnya hujan
tersebut ada kaitannya dengan peristiwa Eyang Sangkrah yang memandikan Kucing
Condro Mowo. Sehingga tradisi tersebut menjadi tradisi, yang setiap tahun
diselenggarakan oleh warga Desa Pelem, dengan sebutan tradisi budaya “Manten
Kucing”.
Ketika Desa Pelem dijabat oleh Demang Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat kembali dilanda kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo
mendapatkan wangsit (petunjuk) untuk mengadakan upacara memandikan kucing di
Telaga Coban. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor
kucing itu dimandikan di Telaga Coban. Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah
hujan mulai mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi Manten Kucing ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan
uburampe atau persiapan untuk mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah
persiapan selesai, maka prosesi kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo
yang diwadahi didalam keranji. Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi
tersebut adalah berwarna putih dan hitam, yang terdiri dari kucing lanang
(jantan) dan kucing wadon (perempuan). Saat pengkirapan tersebut, kucing lanang
lan wadon berada di barisan paling depan sendiri, setelah itu di-ikuti oleh
para sesepuh dan tokoh desa. Para sesepuh dan tokoh desa tersebut juga memakai
pakaian khas adat Jawa.
Setelah sampai di Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara
bergantian, sebelum ditemukan layaknya manten manusia. Kucing Condro Mowo
tersebut dimandikan dengan air telaga yang dicampur dengan kembang setaman yang
sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Usai dimandikan, kedua kucing itu diarak
menuju lokasi pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe,
pasangan kucing jantan dan betina itu dipertemukan. Laki-laki dan perempuan
yang membawa kucing Condro Mowo, duduk bersandingan di kursi pelaminan.
Sedangkan kucingnya, berada di pangkuan laki-laki dan perempuan yang juga
memakai pakaian pengantin. Upacara pernikahan “Manten Kucing” tersebut ditandai
dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan oleh sesepuh desa setempat. Kurang
lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya Manten Kucing sudah selesai.
2.2
Meminta Datangnya Hujan
Masyarakat desa Pelem Campurdarat
ini telah memegang warisan dari nenek monyangnya dengan membudidayakan Tradisi
Manten Kucing ini, Karena mereka mempercayai warisan dari Eyang Sangkrah itu
benar adanya, tentang “Manten Kucing” meminta untuk datangnya hujan dan itu pun
bernar-benar terjadi.Masyarakat di sekitar desa Pelem Campurdarat selain
meminta datangnya hujan, mereka meyakini agar hasil panenya melimpah.
2.3 Festifal Manten Kucing
Merupakan tradisi budaya dari
daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, keberadaan tradisi budaya Manten Kucing
Manten Kucing difestivalkan dalam rangka memperingati Hari Jadi Tulungagung
ke-805. Festival Manten Kucing tersebut di-ikuti 19 (Sembilan belas) kecamatan
yang ada di Kabupaten Tulungagung. Acara tersebut dilaksanakan pada hari kamis,
25 November 2010, kegiatan festival Manten Kucing tersebut berpusat di kawasan
Kota Tulungagung.
Festival
tersebut baru pertama kalinya diadakan di Kabupaten Tulungagung, hal itu untuk
memperkenalkan kepada generasi muda, bahwasanya Manten Kucing adalah tradisi
budaya khas Tulungagung. Tradisi Manten Kucing biasanya diadakan di Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat tersebut merupakan upacara tradisi untuk meminta
diturunkan hujan.
Uniknya di
festival tersebut terdapat kolaborasi antara Manten Kucing dengan kesenian
lain, antara Manten Kucing dengan Reog Gendang, Jaranan Jawa dan Hadrah
(sholawatan). Sehingga kolaborasi tersebut mendapat sambuatan hangat dari
masyarakat, begitu pula para pelajar saat festival itu juga ikut serta
menonton. Secara tidak langsung akan menumbuhkan pengetahuan, pemahaman serta
mengenali asset budaya tradisi Manten Kucing.
Dalam satu sisi,
diadakannya festival Manten Kucing ini memang baik untuk memperkenalkan asset
wisata budaya daerah. Namun disisi lain, kesakralan upacara Manten Kucing
didalam festival tersebut sudah tidak terasa kesakralannya lagi. Sebab budaya
sudah menjadi tontonan, bukan lagi tuntunan.
Penulis
merasakan kesakralan upacara Manten Kucing saat mengikuti prosesi upacara di
Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat. Sehingga simpulan sederhana adalah kita
harus mampu untuk memilah-milah didalam mengembangkan dan memberdayakan asset
wisata daerah, agar nilai-nilai dan pesan moralnya tidak hilang, bukan hanya
sekedar hiburan.
Pergeseran nilai
yang sangat mengkhawatirkan tersebut dapat kita lihat jelas, karena menggejala
secara mencolok di sekitar kita, yang antara lain adalah; (1). Nilai moral
lebih murah daripada nilai materi; (2). Tuhan terasa jauh dan uang terasa
dekat; (3). Produk-produk budaya asing lebih digandrungi daripada produk-produk
budaya sendiri; (4). Kepentingan agama, politik, dan ekonomi dicampuradukan,
sehingga batas-batasannya menjadi jelas; (5). Kekerasan sering digunakan untuk
menyelesaikan perbagai persoalan dalam masyarakat (Ayu Sutarta, 2004:173).
Sehingga untuk
Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah asset budaya daerah harus memiliki konsep yang
matang. Mengembangkan dan memberdayakan asset budaya daerah tidak harus
mengorbankan unsur nilai-nilai positif yang sudah ada. Dari dulu hingga
sekarang, budaya adalah pembelajaran yang konkrit dan fleksibel.
2.4 Acara Berlangsungnya Manten Kucing
Dalam acara Manten Kucing ini,
banyak para warga desa Palem turut menyaksikan jalan upacara Manten Kucing.
Hampir sama halnya mantenan manusia acara ini, bedanya yang dimantenkan
mantenan ini dua ekor kucing, kucing jantan dan kucing betina.
Dalam upacara ini, sepasang kucing jantan
dan kucing betina dipertemukan menjadi pasangan pengantin,” ujar Nugroho Agus,
SE, Kepala Desa Pelem yang juga tokoh sentral pelestari ritual “Temanten
Kucing”. Prosesi “Temanten Kucing” diawali dengan mengirab sepasang kucing jantan
dan betina kucing warna putih yang dimasukkan dalam keranji. Dua ekor kucing
itu dibawa sepasang ‘pengantin’ laki-laki dan wanita. Di belakangnya, berderet
tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum dipertemukan,
pasangan “Temanten Kucing” dimandikan di telaga Coban. Secara bergantian,
kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per
satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang. Usai
dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah
disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu
‘dinikahkan’. Sepasang laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk
bersanding di kursi pelaminan. Sementara dua temanten kucing berada di pangkuan
kedua laki-laki dan wanita yang mengenakan pakian pengantin itu. Upacara
pernikahan ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan sesepuh desa
setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan pengantin kucing usai.
Uniknya pada tahun 2007, atau tiga tahun
yang lalu ketika upacara tradisi Manten Kucing digelar, terdapat kearifal lokal
yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara kucing jantan dan kucing betina,
orang yang sudah tua (sesepuh) duduk dipelaminan sambil menyanyikan lagu-lagu
tradisional, seperti;
Uyek-Uyek
Ranti
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit… Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit… Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur
2.5 Keunikan dari acara Manten Kucing
Yang membuat menarik
dari warga sekitar ada keunikan- keunikan acara ini, acara ini bisa di
kolaborasikan dengan kesenian-kesenian lain. Setelah acara Temanten Kucing
selesei, dilanjutkan dengan pagelaran seni budaya. Pagelaran seni tersebut
adalah Tiban dan Langen Tayup. Kesenian Tiban disini adalah kesenian yang
menggunakan cambuk yang terbuat dari lidi pohon aren yang dipilin sebagai
alatnya. Ketika salah satu pemain Tiban tersebut mengeluarkan darah segar, maka
menandakan prasyarat bahwa hujan akan turun.
Sehingga mulai dari
prosesi Manten Kucing, Tiban, dan Langen Tayub, merupakan kesatuan ritual untuk
memohon diturunkannya hujan. Tradisi budaya semacam itu merupakan simbolisasi
nilai-nilai kearifan lokal orang Jawa. Saat ini tradisi budaya Manten Kucing
bukan semata-mata meminta hujan, melainkan sudah menjadi upacara tradisi yang
diadakan setiap tahun. Kalau tidak diselenggarakan, maka warga takut kalau
terjadi kemarau panjang, maupun bala bencana melanda.
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manten Kucing” merupakan
tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten
Tulungagung. Upacara prosesi Manten Kucing tersebut, terdapat nilai-nilai yang
terkandung didalamnya, selain itu mempunyai pesan moral, seperti halnya; kita
juga harus bersahabat dengan alam dan sekitarnya, guyub rukun dan saling tolong
menolong.
Tradisi Manten
Kucing sendiri pada tahun 2010 yang bertepatan dengan Hari Jadi Tulungagung
ke-805, dijadikan festival budaya. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan
tradisi budaya Manten Kucing kepada khalayak umum, khususnya pelajar bahwasanya di Tulungagung terdapat tradisi
budaya Manten Kucing.
Adapun
nilai-nilai yang dapat penulis tangkap dari prosesi Manten Kucing, diantaranya;
Pertama, manusia memang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta yang mempunyai,
akal pikiran, budi pekerti, nalar, rasa dan karsa. Sehingga mewujudkan diri
untuk memilik budaya positif. Sehingga dengan berbudaya yang baik, akan
memberikan norma-norma positif di masyarakat.
Kedua, dengan
adanya tradisi budaya Manten Kucing tersebut, warga saling dapat tolong
menolong, hormat menghormati diantaranya. Sehingga kerukunan dan keselarasan
hidup menjadi damai, tenang, dan sejahtera. Didalam prosesi Manten Kucing
sendiri masyarakat diajak untuk Guyup Rukun.
Sebenarnya
selain menjadi media pembelajaran, keberadaan Manten Kucing bisa dijadikan
sebagai objek wisata lokal. Keberadaan asset wisata daerah itulah, maka akan
menyokong keberadaan budaya Nasional. Dengan berbudaya yang baik, maka kita
akan menjadi sosok manusia, masyarakat atau bahkan negara yang berbudi luhur,
saling menghormatu, tolong menolong, jujur dan sopan. Masyarakat Indonesia,
khususnya di daerah-daerah dahulu terkenal dengan keramah-tamahannya. Akankah
dengan berbudaya baik, kita mampu mewujudkan sifat ramah dan tamah?
Sehingga istilah
Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah, merupakan rangkaian dalam menggali, menemukan
dan mengembangan serta memberdayakan potensi budaya yang ada di daerah.
Perkembangan zaman seperti sekarang ini, membuat tantangan tersendiri bagi kita
untuk mampu mengolah perkembangan zaman itu untuk menumbuhkan asset budaya
lokal. Berkat akal, pengalaman, dan kesadaran nurani, maka kita harus bergerak
untuk mengolah potensi daerah menjadi asset yang berharga dan mempunyai nilai
pendidikan.
Secara teoritis,
kebudayaan akan mengajarkan nilai-nilai yang baik dan juga mencerminkan
norma-norma positif bagi generasi muda. Tinggal generasi muda (pelajar) mampu
atau tidak untuk menangkap nilai yang terkandung didalam kebudayaan. Sebab
kebudayaan sekarang ini sekedar tontonan, bukan lagi sebagai tuntunan, realita
yang ada.
3.2 Daftar Pustaka
Imron, Agus Ali. 2011. Tradisi Manten Kucing (online), tersedia
di
http://www.dikbangkes-jatim.com/?p=24
, diakses tanggal 23
November 2012
3.3 Lampiran
Blog kamu keren gan,aku baca terus setiap malam. Jika pengen beli motor area Tulungagung,Kediri,Trenggalek,mampir ke dealerku gan www.guskecil.top
BalasHapus